Penulis Ustadz oky rachmatulloh
Kyai Sahal masih muda waktu itu, 26 tahun usianya. Hanya berdua dengan kakaknya yang menjabat lurah di Gontor. Terbayang kembali amanah ibunya untuk membangun kembali pesantren yang kini sudah mati itu. Kedua adiknya masih belum pulang dari belajar. Situasi perang yang melanda saat itu, membuat Kyai Sahal berharap-harap kedua adiknya segera menyelesaikan belajarnya lalu pulang, dan bersama-sama mendirikan pesantren ini. Pesantren yang kini sudah mati itu. Tidak sedikitpuan nampak kejayaan pesantren itu di masa lalu. Pesantren yang bahkan santrinya datang dari negeri pasundan (waktu itu pasundan adalah “luar negeri”), kini sama sekali tidak punya santri, bahkan memulainya saja susah sekali.
Kyai Sahal muda berfikir, tidak akan mudah mengajak generasi yang tua untuk bergabung jadi santri, bahkan yang muda-muda sekalipun pasti sangat susah, melihat mundurnya kesadaran beragama masyarakat waktu itu, tahun 1926. Terbersit dalam pikiran beliau, memulianya dengan mendidik anak-anak. Tapi bagaimana cara menariknya? Jangan dibayangkan Gontor seperti sekarang. Dulu Gontor adalah desa di tengah hutan. Betul-betul hutan. Orang mau ke Gontor kalau malam harus menggunakan obor. Tentu susah mengajak anak-anak kecil belajar di malam hari. Orang tua tentu akan berpikir seribu kali jika hendak melepas putranya ke hutan Gontor itu.
Nekad..!! Itu yang ada dibenak beliau. Lalu beliau mengambil kaleng bekas, juga blek (tempat kerupuk) lalu beliau talikan, beliau cantolkan di pundak. Beliau lalu bernyanyi-nyanyi sambil memukul-mukul blek dan kaleng bekas itu. Berkeliling dari desa ke desa, menembus belantara hutan yang masih pekat itu pada sore hari. Orang yang melihatnya mengerutkan dahi, ini ada pemuda aneh, bernyanyi-nyanyi sambil memukul blek krupuk.
“Sahal ki wis ora waras iki... sahal opo keseruapan..? Sahal ora kuwat ngelmu.. dadine rodo ra nggenah uteke...” (Sahal sudah tidak waras... apakah dia kesurupan..? Sahal itu tidak kuat menuntut ilmu.. jadinya agak kurang pas otaknya...)
Dan berbagai komentar negatif lain berdatangan dari masyarakat kampung waktu itu. Tapi beliau tidak bergeming, niatnya sudah bulat, pesantren yang diamanahkan ibunya harus berdiri, dan itu dimulai dari anak-anak kecil. Cara menarik anak-anak kecil yang caranya seperti itu, pukul-pukul blek sambil bernyanyi, terserah orang mau omong apa. Dan memang benar, anak-anak kecil sambil tertawa-tawa mengikuti ke mana Sahal muda berjalan, sambil tertawa-tawa mereka dibawa ke Pendopo, rumah keprabon Trimurti dan Kakaknya yang seorang lurah itu. Di sanalah pendidikan untuk anak-anak itu dimulai. Usia anak-anak itu bermacam-macam. Ada yang berusia 10 tahun, ada yang berusia 15 tahun, bahkan ada yang sepantaran dengan Kyai Sahal muda, sekitar 26 tahun.
Mereka datang dari daerah Gontor dan sekitarnya. Ada yang datang dengan nyeker (tanpa alas kaki), ada yang datang dengan hanya bercelana pendek dari karung goni. Bahkan anak-anak kecil yang lain ada yang datang dengan telanjang bulat. Salah satunya adalah bocah bernama Sirman Nursalim, yang kelak menjadi Guru di Gontor dan kader Gontor dan tentu saja mengabdi di Gontor. Target pertama Kyai Sahal muda berhasil, mengajak dan mengumpulk ananak-anak itu untuk dididik dan dibina.
Karena memang awamnya pengetahuan masyarakat pada waktu itu. Maka pelajaran yang diberikan juga dasar sekali, tentang Tuhan, lalu mengenai bersuci, lalu Fiqih dasar. Karena yang dididik adalah anak-anak tak jarang beliau membuat syair yang kemudian dinyanyikan bersama-sama, isinya mengani Fiqih dan ketuhanan, atau sejarah nabi. Anak-anak kecil itu jelas menyukai lagu-lagu dan menyanyikannya. Jam pelajarannya juga terbatas, dimulai pukul 16.00, sampai pukul 21.00 bagi yang sudah dewasa. Karena pada pagi dan siang hari, anak-anak itu juga harus pulang dan membantu orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan ekonominya maklumlah pada masa itu dikenal dengan masa “larang pangan” (makanan mahal). Pelajarannya mulai dari fiqih, membaca Al-quran, Hadits, atau menulis huruf jawa juga diajarkan. Kadang-kadang, karena Gurunya juga masih Kyai Sahal seorang, dalam satu hari biasanya cuma diisi dua pelajaran.
Mulailah Madrasah calon pesantren perlahan berjalan, muridnya mulai banyak, sehingga beliau mulai membagi dengan beberapa kawan beliau dalam mengajar. “Muhadhoroh” juga sudah diajarkan, tapi namanya tentu saja bukan “muhadoroh”, tapi Pelajaran Nasehat. Pelaksanaanya malam hari, diiringi lampu teplok didinding yang dipasang di dinding secara berjenjang, biar membuat suasana pendopo lebih indah di malam itu.
Sabar.. telaten.. tekun.. mendidik anak-anak kecil tadi untuk tahu dan paham agama itu apa? Perlahan jumlah murid Madrasah itu mulai bertambah, bahkan pernah mencapai 350 anak pada waktu itu. Bayangkan, sebuah madarasah yang dibikin di tengah hutan bisa mendapat murid sampai 350 anak, betapa kepercayaan masyarakat saat itu sudah mulai didapatkan madrasah Gontor.
Madrasah itu kemudian diberi nama Madrasah Tarbiyatu Athfal (MTA). Di utara masjid pusaka itu menurut cerita, ada sebuah kolah (penampungan air) yang digunakan untuk berwudhu para murid Madrasah. Tapi terkadang dipakai oleh beberapa santri iseng untuk mandi. Madarasah itu kemudian mulai dipisahkan dari Gontor sebagai pesantren setelah kedatangan Kyai Zarkasyi muda dengan program KMI-nya. Dipisahkan karena memang kurikulum KMI harus berbeda konsep dengan kurikulum MTA yang merupakan pendidikan dasar, sedangkan KMI adalah model pendidikan Menengah. Murid-muridnya akhirnya mulai dipisah juga secara usia. Ada TA kecil yang berusia SD/MI. Dan TA besar bagi yang usianya lebih besar dari TA kecil.
Madrasah itu sampai sekarang masih ada dan akan terus ada. Ijazahnya barangkali memang tidak diakui oleh pemerintah. Tempatnya bagi antum wali santri adalah di timur gedung satelit. Di seberang jalan. Dan jawaban Kyai Hasan jelas:
"Kalau ijasah MTA nanti diakui pemerintah, mesakne SD Gontor, SD Nglumpang, dan SD-SD lain sekitar Gontor. Bisa-bisa anak-anaknya pada pindah ke MTA semua, mereka ndak punya murid.”
Pernyataan yang cukup memberikan jawaban kepada kita, bahwa MTA masih punya nama dan masih akan tetap di cari orang dan saya beruntung sekali, pernah merasakan didikan di Madrasah Tarbiyatul Athfal itu, membuat saya mengenang seorang Kyai yang mendirikannya, KH Ahmad Sahal. Lahu Al-Fatihah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar