Wakaf, kekuatan yg abadi..!!
By Oky rachmatulloh
Sampai saat ini, mungkin anda yang berfikiran “profit oriented” tidak akan percaya, bahwa biaya hidup di pesantren modern ini (Gontor) saat ini (2020),adalah 650.000 / bulan. Itu sudah meliputi biaya asrama, uang listrik, uang makan sebulan, dan uang SPP. Murah sekali bukan? Lalu darimana gaji guru-gurunya? Bagaimana menghidupi segala infrastruktur yang ada dipesantren jikalau biaya hidup santrinya per bulan cuma 650.000 rb rupiah saja?
Ya, kalau difikirkan secara itung-itungan matematika, tentu saja hal itu “tidak masuk diakal”. Tapi mari sejenak kita menghilangkan segala itung-itungan itu dan lalu mencoba merangkai kemampuan pesantren ini mengelola asetnya sehingga mampu menghidupi segala unsur kehidupan di pesantren ini. Yang pertama yang perlu kita kedepankan adalah pola kemandirian dan kesederhanaan yang menjadi “back bone” pesantren ini. Yup, pesantren ini dibangun diatas 5 pilar utama yang mengaliri denyut nadi pesantren ini dari hari ke hari : Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah, dan Kebebasan. Ikhlas adalah pola pertama dari ke lima ruh yang ada. Tidak ada sistem gaji di pesantren ini. Seluruh guru-gurunya tidak di gaji. Disini semuanya didasari oleh keikhlasan, dimana semua guru menerima kesejahteraan sesuai dengan kemampuan pesantren saat itu. Tapi Alhamdulillah, kemampuan pesantren untuk memberikan kesejahtreraan kepada para guru tidak pernah turun dari bulan ke bulan bahkan terus menerus meningkat, sesuai dengan kemampuan pesantren.
Yang kedua adalah unsur kemandirian. Semenjak berdirinya, pesantren ini secara futuristik telah mengajarkan tentang kemandirian ini dengan sangat apik dan bijak. Pesantren ini, oleh pemimpinnya telah di wakafkan kepada umat yang diwakili oleh sebuah organisasi yang bernama Badan Wakaf. Seluruh kekuatan pendiri yang waktu itu terdiri dari tanah, sawah, dan ladang diwakafkan keseluruhannya untuk pesantren. Badan wakaf yang baru dibentuk dibebani tugas berat : memajukan dan mengembangkan pesantren ini dengan segenap daya dan upayanya dengan memperluas wakaf untuk mendukungnya. Disinilah kemandirian itu terbentuk. Pesantren ini sejak semula tidak pernah membebani pemerintah dengan permohonan dana bantuan dan sejenisnya, meskipun ada saja sumbangan dari pemerintah kepada pesantren ini., meski jumlahnya tidak begitu banyak. Semua kehidupan pesantren di sokong sepenuhnya oleh bantuan pengembangan wakaf yang dikelola secara sederhana.
Tanah wakaf yang berupa sawah dan ladang, tidak semuanya dipergunakan untuk sarana sekolah. Ada yang dikembangkan murni sebagai sawah. Sehingga hasil dari sawah itu dipergunakan untuk mendukung para santri dalam beraktifitas. Sebagian besar beras yang di konsumsi para santri itu berasal dari tanah wakaf ini. Sangat memudahkan dan brilian. Selain itu ada pula sistem pemberdayaan ekonomi pesantren lain yang coba dikembangkan oleh pimpinan pesantren. Ada beberapa unit-unit usaha milik pesantren yang sengaja dibangun untuk mengembangkan potensi ekonomi pesantren. Hasilnya? Saat ini potensi ekonomi pesantren sudah mampu menjadi tulang punggung penyuplai kehidupan pesantren. Hasil dari toko buku, toko besi, kelontong, pabrik es batu, pabrik konvenksi, percetakan, dan sekian banyak potensi ekonomi kembangan lain terbukti mampu mendukung pola kehidupan pesantren yang sederhana dan mandiri. Termasuk memberikan kesejahteraan kepada segenap guru di pesantren ini.
Nah, sekarang anda sudah tahu bukan, bagaimana dengan 650 rb para santri di pesantren ini bisa bertahan hidup dengan kualitas yang baik ala kehidupan pesantren? Wakaf, itu dia jawabannya. Wakaf yang selama ini dikenal sebagai salah satu skema filantropi Islam telah berhasil dikemas sedemikian menarik oleh pesantren ini. Tidak semua wakaf harus berbentuk masjid, musholla, sekolah, atau makam. Tapi juga bisa dimanfaatkan sebagai natural pendukung yang ternyata mampu memberikan dukungan yang optimal setelah dikembangkan sedemikian rupa oleh pesantren. Sebuah pesan yang muncul saat ini adalah, sudahkah potensi wakaf yang sedemikian terbuka luas ini (590 Trilliun) telah tergarap dengan benar?
Di salah satu sintesa yang diambil oleh pendiri pesantren diatas adalah Al-Azhar University di mesir. Universitas tertua di dunia ini telah selama puluhan tahun melahirkan banyak nian ilmuwan ke seluruh penjuru dunia ini mampu hidup dan bahkan memberikan bea siswa berdasarkan dari hasil wakaf. Sedemikian dahsyatnya potensi wakaf itu. Sayangnya, potensi yang sedemikian besar itu belum bisa di optimalkan secara sempurna di negeri ini. Potensi wakaf yang sedemikian dahsyat itu belum mampu di arahkan ke arah pemberdayaan ekonomi masyarakat yang menjanjikan. Pemberdayaan yang bukan hanya bertujuan untuk memenuhi sandang dan pangan masyarakat, tapi pemberdayaan yang membantu memudahkan akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi untuk bersama-sama mendulang keberhasilan daripadanya. Sebuah pemberdayaan yang menghidupkan bukan memberikan harapan semata. Acap kali kita dengar, wakaf bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, menghancurkan kebodohan, mengatasi nutrisi yang buruk, dan sebagainya. Akan tetapi belum juga kita temukan bagaimana langkah riil sebagai pengejawantahan tujuan-tujuan wakaf yang mulia itu.
Mari kita coba mulai meng-konsepnya. Wakaf, pengertian dari segi bahasanya adalah menahan. Yang secara syariah adalah menahan seseorang dari memperoleh manfaat langsung dari objek wakaf, untuk diberikan keuntungan itu bagi umat. Dari pengertian diatas, jelaslah sudah bahwa titik point inti dari wakaf adalah “menahan keuntungan” untuk di berikan sepenuhnya bagi umat, sedangkan harta pokoknya tetaplah menjadi hak milik wakif sepenuhnya, hingga sang wakif meninggal. Maka tidak perlu menunggu mempunyai sawah atau tanah atau bangunan dulu untuk berwakaf. Apapun bentuk harta yang hendak kita wakafkan, maka pola pertumbuhan nilainya-lah yang berdaya guna dihadapan Allah, bukan lagi terletak pada pemeliharaan bendanya. Maka itu, nilai porduktifitas dari harta wakaf itu menjadi sangat penting. Tanah yang siap hendak diwakafkan adalah tanah yang produktif, gedung yang hendak diwakafkan adalah gedung yang produktif, sarana dan pra-sarana yang hnedak dibangun-pun hendaknya adalah sarana dan pra-sarana yang produktif. Agak janggal memang menyaksikan, bahwa ada beberapa tanah yang diwakafkan ternyata adalah tanah konflik, tanah mati (susah ditanami, tidak layak untuk dibangun bangunan diatasnya), atau tidak jelas batas-batasnya.
Problema kedua yang mengganjal adalah, jangankan mengembangkan potensi tanah-tanah tersebut, bahkan memelihara untuk menjaganya-pun banyak diantara lembaga wakaf yang ternyata belum mampu. Bukan salah lembaganya memang, karena membayangkan betapa susahnya membangun sebuah bangunan dengan dana umat diatas tanah-tanah wakaf itu. Apalagi kalau “diharuskan” membangun masjid selesai bulan ini, membangun madarasah selesai bulan itu, wah tentu sangat sulit untuk merealisasikannya. Padahal, kalau merujuk kepada pengertian wakaf diatas, bahwa potensi wakaf yang terbaik adalah yang paling produktif bagi kelangsungan peri kehidupan umat. Betapa susahnya mendapatkan predikat itu jikalau memang potensi-potensi wakafnya sebagaimana yang saya ceritakan diatas.
Melihat beberapa hal diatas, dan sekaligus contoh langsung dari kedua lembaga wakaf di Indonesia maupun di luar negeri. Maka wakaf tunai bisa menjadi solusi.
Berwakaf dengan uang tunai, berapaapun jumlahnya ke Bank-Bank yang telah ditunjuk oleh lembaga wakaf yang bertanggung jawab, lalu dari dana bagi hasil yang diperoleh itulah yang bisa digunakan untuk optimalkan pelayanan kepada umat. Memang problem utama dari wakaf model ini adalah pertanggung jawaban dari lembaga wakaf itu sendiri. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan terbukanya sistem audit kepada lembaga-lembaga itu, maka problem-problem itu bisa segera kita atasi. Lembaga wakaf di Singapura bisa dijadikan contoh. Lembaga wakaf itu menggunakan uang wakaf yang dikumpulkan kepada mereka untuk membeli properti, lalu disewakan. Lalu dari uang hasil menyewakan gedung tersebut-lah mereka melayani kebutuhan umat. Sangat produktif, dengan profesional mereka mengelola harta wakaf dengan manajemen modern. Sehingga hasilnyapun sangat-sangat bisa dirasakan oleh banyak orang di negara pulau tersebut.
Menilik dari hal tersebut, sudah saatnya orientasi ber-wakaf di sekitar kita ini kita rubah. Yang pertama adalah pandangan kita mengenai wakaf itu sendiri. Bahwasanya wakaf adalah instrument penting dalam Islam yang pahalnya akan terus mengalir kepada kita sampai bahkan ketika kita meninggal. Ini jauh lebih “futuristik” daripada infaq. Sebab infaq pahalanya akan diberikan saat dia berinfaq saja, sedangkan wakaf pahalanya akan terus mengalir. Yang kedua tentu adalah mengenai wakaf itu sendiri. Bahwasanya wakaf tidak melulu harus tanah, bangunan, atau yang sejenis. Ada wakaf tunai yang mulai dikembangkan oleh lembaga-lembaga wakaf saat ini. Yang tidak memerlukan proses yang macem-macem, anda tinggal transfer wakaf anda, beres. Tinggal kita tunggu saja bagaimana lembaga-lembaga bekerja. Insya Allah amanah dan profesional. Nah, masih menunggu untuk berwakaf?Wakaf, kekuatan yg abadi..!!
By Oky rachmatulloh
Sampai saat ini, mungkin anda yang berfikiran “profit oriented” tidak akan percaya, bahwa biaya hidup di pesantren modern ini (Gontor) saat ini (2020),adalah 650.000 / bulan. Itu sudah meliputi biaya asrama, uang listrik, uang makan sebulan, dan uang SPP. Murah sekali bukan? Lalu darimana gaji guru-gurunya? Bagaimana menghidupi segala infrastruktur yang ada dipesantren jikalau biaya hidup santrinya per bulan cuma 650.000 rb rupiah saja?
Ya, kalau difikirkan secara itung-itungan matematika, tentu saja hal itu “tidak masuk diakal”. Tapi mari sejenak kita menghilangkan segala itung-itungan itu dan lalu mencoba merangkai kemampuan pesantren ini mengelola asetnya sehingga mampu menghidupi segala unsur kehidupan di pesantren ini. Yang pertama yang perlu kita kedepankan adalah pola kemandirian dan kesederhanaan yang menjadi “back bone” pesantren ini. Yup, pesantren ini dibangun diatas 5 pilar utama yang mengaliri denyut nadi pesantren ini dari hari ke hari : Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah, dan Kebebasan. Ikhlas adalah pola pertama dari ke lima ruh yang ada. Tidak ada sistem gaji di pesantren ini. Seluruh guru-gurunya tidak di gaji. Disini semuanya didasari oleh keikhlasan, dimana semua guru menerima kesejahteraan sesuai dengan kemampuan pesantren saat itu. Tapi Alhamdulillah, kemampuan pesantren untuk memberikan kesejahtreraan kepada para guru tidak pernah turun dari bulan ke bulan bahkan terus menerus meningkat, sesuai dengan kemampuan pesantren.
Yang kedua adalah unsur kemandirian. Semenjak berdirinya, pesantren ini secara futuristik telah mengajarkan tentang kemandirian ini dengan sangat apik dan bijak. Pesantren ini, oleh pemimpinnya telah di wakafkan kepada umat yang diwakili oleh sebuah organisasi yang bernama Badan Wakaf. Seluruh kekuatan pendiri yang waktu itu terdiri dari tanah, sawah, dan ladang diwakafkan keseluruhannya untuk pesantren. Badan wakaf yang baru dibentuk dibebani tugas berat : memajukan dan mengembangkan pesantren ini dengan segenap daya dan upayanya dengan memperluas wakaf untuk mendukungnya. Disinilah kemandirian itu terbentuk. Pesantren ini sejak semula tidak pernah membebani pemerintah dengan permohonan dana bantuan dan sejenisnya, meskipun ada saja sumbangan dari pemerintah kepada pesantren ini., meski jumlahnya tidak begitu banyak. Semua kehidupan pesantren di sokong sepenuhnya oleh bantuan pengembangan wakaf yang dikelola secara sederhana.
Tanah wakaf yang berupa sawah dan ladang, tidak semuanya dipergunakan untuk sarana sekolah. Ada yang dikembangkan murni sebagai sawah. Sehingga hasil dari sawah itu dipergunakan untuk mendukung para santri dalam beraktifitas. Sebagian besar beras yang di konsumsi para santri itu berasal dari tanah wakaf ini. Sangat memudahkan dan brilian. Selain itu ada pula sistem pemberdayaan ekonomi pesantren lain yang coba dikembangkan oleh pimpinan pesantren. Ada beberapa unit-unit usaha milik pesantren yang sengaja dibangun untuk mengembangkan potensi ekonomi pesantren. Hasilnya? Saat ini potensi ekonomi pesantren sudah mampu menjadi tulang punggung penyuplai kehidupan pesantren. Hasil dari toko buku, toko besi, kelontong, pabrik es batu, pabrik konvenksi, percetakan, dan sekian banyak potensi ekonomi kembangan lain terbukti mampu mendukung pola kehidupan pesantren yang sederhana dan mandiri. Termasuk memberikan kesejahteraan kepada segenap guru di pesantren ini.
Nah, sekarang anda sudah tahu bukan, bagaimana dengan 650 rb para santri di pesantren ini bisa bertahan hidup dengan kualitas yang baik ala kehidupan pesantren? Wakaf, itu dia jawabannya. Wakaf yang selama ini dikenal sebagai salah satu skema filantropi Islam telah berhasil dikemas sedemikian menarik oleh pesantren ini. Tidak semua wakaf harus berbentuk masjid, musholla, sekolah, atau makam. Tapi juga bisa dimanfaatkan sebagai natural pendukung yang ternyata mampu memberikan dukungan yang optimal setelah dikembangkan sedemikian rupa oleh pesantren. Sebuah pesan yang muncul saat ini adalah, sudahkah potensi wakaf yang sedemikian terbuka luas ini (590 Trilliun) telah tergarap dengan benar?
Di salah satu sintesa yang diambil oleh pendiri pesantren diatas adalah Al-Azhar University di mesir. Universitas tertua di dunia ini telah selama puluhan tahun melahirkan banyak nian ilmuwan ke seluruh penjuru dunia ini mampu hidup dan bahkan memberikan bea siswa berdasarkan dari hasil wakaf. Sedemikian dahsyatnya potensi wakaf itu. Sayangnya, potensi yang sedemikian besar itu belum bisa di optimalkan secara sempurna di negeri ini. Potensi wakaf yang sedemikian dahsyat itu belum mampu di arahkan ke arah pemberdayaan ekonomi masyarakat yang menjanjikan. Pemberdayaan yang bukan hanya bertujuan untuk memenuhi sandang dan pangan masyarakat, tapi pemberdayaan yang membantu memudahkan akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi untuk bersama-sama mendulang keberhasilan daripadanya. Sebuah pemberdayaan yang menghidupkan bukan memberikan harapan semata. Acap kali kita dengar, wakaf bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, menghancurkan kebodohan, mengatasi nutrisi yang buruk, dan sebagainya. Akan tetapi belum juga kita temukan bagaimana langkah riil sebagai pengejawantahan tujuan-tujuan wakaf yang mulia itu.
Mari kita coba mulai meng-konsepnya. Wakaf, pengertian dari segi bahasanya adalah menahan. Yang secara syariah adalah menahan seseorang dari memperoleh manfaat langsung dari objek wakaf, untuk diberikan keuntungan itu bagi umat. Dari pengertian diatas, jelaslah sudah bahwa titik point inti dari wakaf adalah “menahan keuntungan” untuk di berikan sepenuhnya bagi umat, sedangkan harta pokoknya tetaplah menjadi hak milik wakif sepenuhnya, hingga sang wakif meninggal. Maka tidak perlu menunggu mempunyai sawah atau tanah atau bangunan dulu untuk berwakaf. Apapun bentuk harta yang hendak kita wakafkan, maka pola pertumbuhan nilainya-lah yang berdaya guna dihadapan Allah, bukan lagi terletak pada pemeliharaan bendanya. Maka itu, nilai porduktifitas dari harta wakaf itu menjadi sangat penting. Tanah yang siap hendak diwakafkan adalah tanah yang produktif, gedung yang hendak diwakafkan adalah gedung yang produktif, sarana dan pra-sarana yang hnedak dibangun-pun hendaknya adalah sarana dan pra-sarana yang produktif. Agak janggal memang menyaksikan, bahwa ada beberapa tanah yang diwakafkan ternyata adalah tanah konflik, tanah mati (susah ditanami, tidak layak untuk dibangun bangunan diatasnya), atau tidak jelas batas-batasnya.
Problema kedua yang mengganjal adalah, jangankan mengembangkan potensi tanah-tanah tersebut, bahkan memelihara untuk menjaganya-pun banyak diantara lembaga wakaf yang ternyata belum mampu. Bukan salah lembaganya memang, karena membayangkan betapa susahnya membangun sebuah bangunan dengan dana umat diatas tanah-tanah wakaf itu. Apalagi kalau “diharuskan” membangun masjid selesai bulan ini, membangun madarasah selesai bulan itu, wah tentu sangat sulit untuk merealisasikannya. Padahal, kalau merujuk kepada pengertian wakaf diatas, bahwa potensi wakaf yang terbaik adalah yang paling produktif bagi kelangsungan peri kehidupan umat. Betapa susahnya mendapatkan predikat itu jikalau memang potensi-potensi wakafnya sebagaimana yang saya ceritakan diatas.
Melihat beberapa hal diatas, dan sekaligus contoh langsung dari kedua lembaga wakaf di Indonesia maupun di luar negeri. Maka wakaf tunai bisa menjadi solusi.
Berwakaf dengan uang tunai, berapaapun jumlahnya ke Bank-Bank yang telah ditunjuk oleh lembaga wakaf yang bertanggung jawab, lalu dari dana bagi hasil yang diperoleh itulah yang bisa digunakan untuk optimalkan pelayanan kepada umat. Memang problem utama dari wakaf model ini adalah pertanggung jawaban dari lembaga wakaf itu sendiri. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan terbukanya sistem audit kepada lembaga-lembaga itu, maka problem-problem itu bisa segera kita atasi. Lembaga wakaf di Singapura bisa dijadikan contoh. Lembaga wakaf itu menggunakan uang wakaf yang dikumpulkan kepada mereka untuk membeli properti, lalu disewakan. Lalu dari uang hasil menyewakan gedung tersebut-lah mereka melayani kebutuhan umat. Sangat produktif, dengan profesional mereka mengelola harta wakaf dengan manajemen modern. Sehingga hasilnyapun sangat-sangat bisa dirasakan oleh banyak orang di negara pulau tersebut.
Menilik dari hal tersebut, sudah saatnya orientasi ber-wakaf di sekitar kita ini kita rubah. Yang pertama adalah pandangan kita mengenai wakaf itu sendiri. Bahwasanya wakaf adalah instrument penting dalam Islam yang pahalnya akan terus mengalir kepada kita sampai bahkan ketika kita meninggal. Ini jauh lebih “futuristik” daripada infaq. Sebab infaq pahalanya akan diberikan saat dia berinfaq saja, sedangkan wakaf pahalanya akan terus mengalir. Yang kedua tentu adalah mengenai wakaf itu sendiri. Bahwasanya wakaf tidak melulu harus tanah, bangunan, atau yang sejenis. Ada wakaf tunai yang mulai dikembangkan oleh lembaga-lembaga wakaf saat ini. Yang tidak memerlukan proses yang macem-macem, anda tinggal transfer wakaf anda, beres. Tinggal kita tunggu saja bagaimana lembaga-lembaga bekerja. Insya Allah amanah dan profesional. Nah, masih menunggu untuk berwakaf?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar