Kemarin ada alumni ISID (Unida) yang menulis yang kurang lebih kalau bahasa saya, keberatan dengan dramatisasi selesainya ujian kelas enam tahun ini. Beliau menyatakan bahwa ujian di Gontor itu biasa, santri tetap bisa tidur, bisa makan, bahkan masih bisa olah raga. Jadi ya jangan didramatisir seolah-olah ujian di Gontor itu mengerikan sehingga pandangan orang ke Gontor itu "ngeri" padahal melihat Gontor saja calon wali santri itu belum pernah.
Saya tersenyum, sayapun menganggukkan kepala atas apa yang beliau tulis, tapi juga saya tidak menyalahkan juga wali santri yang mendramatisir ujian kelas enam ini, siapa tahu maksud para wali ini bukan mendramatisir tapi mengungkapkan perasaannya secara hakiki. Tapi kenapa hiporbolis gitu ? Ya mungkin karena perasaan rindu, doa yang diucap berhari-hari lalu bayangan putra-putrinya melintas maka lahirlah ungkapan hiperbola itu. Sangat wajar bagi wali kelas enam mengupload status tentang "ngeri"nya ujian kelas enam itu. Ya meskipun mungkin putera-puterinya yang ikut ujian biasa saja, seperti kata Ustadz di atas.
Sebenarnya, apa yang temui di Gontor adalah hal yang biasa dan memang demikianlah seharusnya. Melihat santri jadi panitia bulan syawwal dengan ramah dan sopan juga sigap, memang harusnya seperti itu kan? Melihat santri belajar malam sampai tidak tidur menghadapi ujian, lha bukannya seharusnya juga demikian? Melihat bagaimana para santri begitu amanah memegang keuangan berjumlah 13 milliar, bukankah kewajaran jika kita melakukannya? Menyaksikan para Guru menjadi panitia ujian dan hanya "dibayar" dengan krupuk dan sambel pecel saja, nah bukankah ini juga hal yang wajar? Lalu melihat kelas akhir menempuh ujian dengan sama sekali tidak mencontek, lha memangnya ujian boleh menyontek? Lalu bagaimana di Gontor sama sekali tidak ada celah untuk "main belakang" bahan dengan kyai sekalipun ketika ujian masuk? lho memangnya boleh "main belakang" di negeri manapun di dunia ini ketika pendaftaran? Atau ketika melihat pendaftaran di Gontor uang kita dikembalikan, itu hal biasa kan?? Kalau ada santri dihukum gara-gara melawan guru, bukankah sejak zaman nabi menghormati guru itu wajib? Dan itu setiap hari kami lakukan di Gontor.
Tapi di kehidupan nyata, kita hampir tidak menemui hal yang saya sebut wajar di atas. Yang banyak kita temui justru kebalikan dari hal di atas. Ujian yang kita lihat adalah ujian yang "wajar" mengatur nilai, "wajar" menyontek, kabar yang kita dengar adalah murid yang merokok di depan gurunya, Aturan perizinan yg mudah keluar asalkan (sepengetahuan saya) dengan "harga berbeda", sekolah yang semakin tinggi ifaq kita, maka semakin besar kemungkinan diterimanya, atau juga kita terbiasa menjadi panitia ujian yang ketika menguji kita dibayar per harinya berapa? Nah karena hal-hal yang tidak wajar itu sudah menjadi rahasia umum yang wajar kita temui, maka jadilah hal-hal wajar yang kita temui di Gontor tadi menjadi "tidak wajar" di mata kita.
Maka jadilah apa yang kita, alumni Gontor ini anggap wajar, biasa tidak aneh, tidak ngeri, ini menjadi hal yang luar biasa, aneh, dahsyat, "mengerikan"di mata masyarakat yang terbiasa dengan hal-hal di atas. Maka munculah istilah-istilah yang bagi alumni bisa jadi dinilai lebay, seperti "mujahid" di "medan juang", " selamat berjuang " di "ujian tersulit sejagat", dan istilah lain yang seirama. Untuk menengahinya, mungkin yang alumni harus melepas dulu kaca mata alumninya, biar kita tidak menganggap apa yang disampaikan yang lain lebay, dan yang non Gontory, bisa jadi mengganti dulu kaca mata pandangnya dengan kaca mata alumni, biar kita juga tidak "menakuti" calon wali santri yang lain yang dianggap Gontor itu menakutkan. Atau setidaknya biar kita tidak di sebut "lebay" he.... He.... He....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar