Disadur dari Buku Kaldeidoskop Hirarki Darussalam (Buku Pendamping Khutbatul Arsy Gontor 2022)
1751, terletak di pojok sebuah desa nan damai, berdirilah kokoh sebuah pondok kenamaan, Tegalsari. Pada masa itu pondok. Tegalsari dipimpin oleh seorang Kyai bijaksana, ia dikenal sebagai Kyai Kholifah. Dalam masa kepemimpinannya Kyai Kholifah memiliki seorang santri yang amat ia sayangi, ialah Sulaiman Djamaluddin. Dan pada suatu kesempatan, ia menugaskan santri kesayangannya itu untuk berhijrah, karena menurut Kyai Kholifah kedewasaan dan karisma yang dimiliki Sulaiman Djamaluddin, ia dirasa mampu untuk menunaikan amanat suci; membabad alas.
Kyai Kholifah duduk di atas kursi menghadap ke Sulaiman Djamaluddin dan berpesan kepadanya "Sulaiman, 2 abad lalu pondok ini sudah berdiri, dan itu semua tidak luput dari perjuangan para pendahulu kita. Tegalsari selalu menanamkan ruh dan semangat juang kepada santri-santrinya. Maka, bapak ingin kamu melanjutkan perjuangan ini."
Sulaiman Djamaluddin duduk bersimpuh menghadap Sang Kyai mendengarkan dengan khidmat pesan yang disampaikan. "Maksud bapak, saya harus..." Sulaiman dengan ragu menanggapi.
"Iya, saya ingin kamu berjuang, berjuang untuk berdakwah. dirikanlah pesantren di suatu desa, berdakwahlah di sana. Niscaya kamu akan mengerti dan paham arti perjuangan sesungguhnya," tegas Kyai Kholifah.
"Tapi pak, saya masihlah tidak memiliki apa-apa. Saya takut pesantren ini akan gagal," jawab Sulaiman Djamaluddin tidak percaya dengan dirinya sendiri.
"Sulaiman!" Kyai Kholifah mengangkat suaranya. "Hiduplah seperti air. Ia selalu mengalir dan menghidupkan. Namun, apabila berhenti bergerak, ia akan keruh. Maka, tetapkan hatimu untuk berdakwah, niscaya kamu akan mendapatkan hikmah yang lebih besar." Sulaiman tertegun.
"Nggeh bapak, Insya Allah... saya akan berjuang." Sulaiman memantapkan hati.
"Alhamdulillah, Semoga Allah menguatkanmu, semoga Allah membukakan jalan bagimu."
"Tapi pak, di manakah desa yang bapak maksud?" tanya Sulaiman.
"Di timur desa ini, ada sebuah desa yang tanahnya serupa dengan tanah ini. Sayangnya kedzaliman, Mo Limo masih nguasai tanah tersebut, masyarakat sekitar menyebutnya itor.
Dengan keteguhan hati dan pengorbanan. Sulaiman Djamaluddin bersama santri-santrinya, berjalan melewati hutan-hutan belantara. ijrah, untuk menjalankan amanat suci, berdakwah, Kalam Ilahi.
Sesampainya di tanah Gontor. Sulaiman Djamaluddin beserta santrinya dihadang oleh segerombolan orang. la pun menghampiri mereka. ",kami rombongan dari desa Tegalsari."
"berani sekali kalian menginjak tanah ini. Di sini kami yang berkuasa hahahahahaha." salah seorang dari gerombolan itu bertanya dengan angkuh.
Orang itupun memanggil pemimpinnya. Lalu seorang berwajah gahar berjalan mendekati Sulaiman Djamaluddin "Sopo kowe?" la bertanya.
"Saya Sulaiman. Saya hendak mendirikan padepokan di sini." jawab Sulaiman dengan sopan.
"Hahaha... weenak ae kowe, langkahi dulu mayat kami, baru kami izinkan, itupun kalau kowe kabeh iso hahahaha..."
"Sekali lagi maaf tuan, kami tidak ingin cari ribut tuan-tuan, kami hanya ingin-" belum selesai Sulaiman berbicara, salah seorang santrinya menyelak.
"Turunkan tanganmu Sutono, hadapi kekerasan dengan kelembutan. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW." Sulaiman Djamaluddin menghentikan santrinya. "Maafkan sikap santri saya, kami takkan melawan tuan-tuan sekalian. Tapi, bukan berarti kami takut kepada tuan. Karena kami hanya takut kepada Allah SWT."
"Ahh, banyak bicara kalian! bilang saja kalian orang lemah yang sok kuat, buktikan siapa yang lebih kuat, kalian atau kami." Gerombolan orang-orang tersebut mulai kehabisan kesabaran. Menyikapi hal tersebut Sulaiman Djamaluddin melontarkan kepada mereka sebuah pertanyaan.
"Tuan, izinkan saya bertanya. Adakah seseorang yang dapat memindahkan 300 orang dari Sunda Kelapa ke pulau Sumatera?" “Pertanyaan macam apa ini, tentu tidak, wong edan!" "Hmm...tapi ada yang bisa tuan, dialah orang pintar." "Maksudmu ki piye?"
Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya Sulaiman Djamaluddin
menjelaskan jawabannnya kepada gerombolan itu. "Para pembuat kapal itu orang pintar tuan. Dengan ilmu, kapal yang mereka buat bisa mengangkut ratusan manusia. Dengan ilmu, manusia akan menjadi kuat dan tangguh. Tapi ingat Tuan, sebaik-baik manusia bukanlah ia yang terkuat dan berkuasa, namun ialah yang kuat, lagi bermanfaat bagi orang lain. Sesungguhnya Gusti Allah lebih seneng dengan seorang mukmin yang kuat, Tuan."
Selesai berbicara, Sulaiman Djamaluddin lantas memegang dada salah seorang dari gerombolan tersebut, seketika segerombolan orang itupun tersadar tentang apa yang dijelaskan oleh Sulaiman Djamaluddin. Dan salah satu dari mereka segera menghentikan Sulaiman Djamaluddin yang ingin melanjutkan perjalanannya.
"Begini tuan, kalau tuan ingin membangun padepokan di sini, akan kami dukung... tapi ada syaratnya!" ujar pemimpin gerombolan tersebut.
"Halah! apa syaratnya? pasti minta upeti kan!" Sela salah seorang santri.
"Bukan! Tapi... Ajari kami ilmu yang anda miliki, kami bersedia menjadi murid tuan."
"Baiklah.. Kalau seperti itu bisakah kalian menunjukkan di mana saya bisa mendirikan padepokan ini." "Baik, Tuan."
Setelah itu Sulaiman Djamaluddin beserta para santrinya bahu-membahu untuk membabad alas, kemudian mendirikan pondok di atasnya. Dan sejak saat itu pula, Sulaiman Djamaluddin diakui sebagai Kyai, sekaligus Kepala Desa Gontor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar