Disadur dari Buku Kaldeidoskop Hirarki Darussalam (Buku Pendamping Khutbatul Arsy Gontor 2022)
Gontor, 1842-Hijrahnya Sulaiman Djamaludin beserta santrinya merupakan titik awal berdirinya Risalah Gontor Lama. Membangun pondasi, memulai Syiar-syiar Islam dan menyerukan kebajikan. Sangat disayangkan masa itu tak berlangsung lama. Sepeninggal Sulaiman Djamaluddin, Kyai Archam Anom Besari, yang merupakan anak lelakinya meneruskan tonggak estafet perjuangan Gontor Lama. Dan, di masa inilah Gontor Lama berkembang pesat dengan segala kegiatannya. Para santri datang berbondong-bondong untuk menimba ilmu dari sang Kyai. Dan Sang Kyai pun, mengajari dan merawat mereka dengan tulus dan ikhlas.
Kyai Archam Anom Besari yang semakin renta, merasakan umur yang tak muda lagi, dan tubuh yang tak setegap dulu lagi. Ia pun berpikir untuk segera menyampaikan wasiat kepada anak tertuanya yaitu Anompuro, dengan harapan agar ia kelak dapat melanjutkan perjuangan sang ayah dalam memimpin pondok.
Namun tanpa disangka-sangka, Anompuro, putra tertuanya dengan berat hati menolak amanat tersebut, dikarenakan ia telah lebih dahulu diamanati untuk menjadi seorang hakim di Peradilan Agama Kota Ponorogo.
Santoso Anom Besari, yang merupakan anak ke-4 dari Kyai Archam Anom Besari, melihat kepergian kakak tertuanya, terheran-heran dan bertanya-tanya di dalam hati, tentang apa yang terjadi. Dan seketika itu pula, Santoso Anom Besari dipanggil oleh Ayahandanya.
"Santoso, lungguh kene le..." panggil ayahandanya. "Nggih pak..."
"Santoso, setelah bapak tiada nanti, kaulah yang akan meneruskan Pesantren Gontor ini." ujar Kyai Arkham.
"Di dalam Serat Suluk Gontor telah dituliskan, Kyai harus seperti dalang, yang di mana dalang harus mengetahui masing-masing karakter setiap wayangnya, begitupun seorang guru, harus paham karakter santri-santrinya."
"Nggih bapak, insyaallah Santoso akan berjuang li-i'laa-i kalimatillah... dengan pondok ini." Santoso menyanggupi.
"Tapi.. Jangan lupa, kader-kader yang akan melanjutkan perjuangan setelahmu, harus kau didik semaksimal mungkin! Demi keberlangsungan pondok ini!"
"Insya Allah bapak... dengan restu dan ridhomu... semoga saya beserta para penerus dapat membesarkan nama Gontor hingga ke pelosok Nusantara."
Setelah merenungi wajah sang anak, pandanganya semakin gelap, menyisakan wajah tenang yang tersirat di wajahnya, Kyai Arkham menghembuskan nafas terakhir di atas kursinya, Santoso yang mencermati wajah sang ayah dengan takzim, menyaksikan cahaya yang perlahan menghilang dari wajah ayahnya, jantungnya pun ikut berguncang dan isak tangisnya pun tak dapat ia hindari.
"Pak! bapak!, ampun ninggalke kulo pak, Santoso tidak sekuat bapak!" rintih Santoso.
Hari-hari setelah itupun tak akan sama, menyanggupi amanat yang diberi ayahandanya, Kyai Santoso Anom Besari menghadapi jatuh bangun perjuangan, diterpa badai kesukaran dan musibah.
Hingga datang suatu masa, penyakit yang dideritanya semakin parah dan menjadikan kesehatanya semakin memburuk. Tahun 1918, Kyai Santoso Anom Besari pun dipanggil kehadirat Allah SWT. Nafas perjuangan yang telah lama terengah-engah, akhirnya pun pupus. Gontor Lama pun surut, bak oase di tengah gurun yang mengering, dan tanpa adanya penerus semangat perjuangan, ia pun runtuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar