Perintis Gontor Baru

Disadur dari Buku Kaldeidoskop Hirarki Darussalam (Buku Pendamping Khutbatul Arsy Gontor 2022)
Kyai Santoso Anom Besari dipanggil Sang Maha Kuasa, dan meninggalkan sang istri, Nyai Sudarmi, beserta putra-putrinya, Raden Rachmat Sukarto, Raden Nganten Sumiyah, Raden Nganten Sukadmi, Raden Nganten Sumilah, Raden Ahmad Sahal, Raden Zainuddin Fannanie, dan Raden Imam Zarkasyi. Di suatu pagi Raden Rachmat Sukarto bersama tiga adiknya Ahmad Sahal, Imam Zarkasyi dan Zainuddin Fannanie duduk di tengah rumah.

"Adek-adekku rungakno kene, bapak sudah meninggal, sebagai anak tertua, mas bertanggungjawab untuk kelangsungan hidup kita semua. Maka dari itu, ada baiknya kita segera mengurusi tanah-tanah yang bapak tinggalkan untuk kita.

"Maksud mas kita akan membagi tanah dari bapak?” tanya Zarkasyi.

"Sebentar mas, ibu pernah matur lebih baik milih ilmu daripada harta. Sebaiknya kita tidak perlu bingung tentang tanah peninggalan bapak ini. Lebih baik kita gunakan tanah ini untuk biaya sekolah kita," sahut Sahal.

"Bener mas, saya setuju. Harta sebanyak apapun akan habis ditelan zaman, namun ilmu yang bermanfaat akan kekal abadi selama kita mengajarkannya. Juga besarnya harapan ibu kepada kita semua untuk dapat menghidupkan kembali pesantren yang didirikan pendahulu kita," tambah Fananie.

"Baiklah... semoga jalan yang kita pilih ini diridhoi oleh Allah SWT. Mas sendiri akan mengurus tanah ini untuk biaya sekolah kalian."

Rachmat Sukarto menanggapi saran adik-adiknya. Tiga tahun berselang. Ahmad Sahal, Zainuddin Fannanie dan Imam Zarkasyi telah tumbuh dewasa, dan mereka teringat amanat yang diberikan oleh ibu mereka, untuk melanjutkan perjuangan ayah mereka.

"Tak terasa 3 tahun sudah bapak meninggalkan kita, teringat amanat ibu untuk melanjutkan perjuangan bapak, dengan menghidupkan kembali pesantren yang telah dirintis oleh kakek kita terdahulu," ujar Sahal.

"Kita harus berhijrah mas... ilmu kita ini belum cukup, maka dengan itu, saya berencana untuk merantau ke Padang, saya akan belajar di sana," usul Fananie.

"Mas kita sudah sama-sama dewasa, sekarang kita berpisah, masing-masing mendoakan saja, saya juga akan pergi mas, Solo adalah tujuan saya, di sana banyak lembaga pendidikan untuk bekal keilmuan kita kedepanya." tambah Zarkasyi.

"Pondok Siwalan Panji telah saya sambangi, selanjutnya akan saya teruskan perjalanan saya ke Termas, sebuah pesantren di Pacitan. Mungkin takkan berlangsung lama, sepulang dari Termas akan saya hidupkan kembali pesantren ini." Sahal menanggapi.

Di usia yang masih amat muda, 3 kakak beradik ini mempunyai visi besar, pandangan yang luas, merasa penting, dan merasa mendapat amanat untuk membangkitkan kembali jerih payah para pendahulunya. Membawa Pondok Gontor kembali ke masa jayanya.

3 bersaudara itupun memulai perjalanan mereka. Zainudin Fannanie merantau ke Padang untuk memperluas khizanah keilmuanya, Imam Zarkasyi berpetualang di kota Solo menyambangi berbagai perguruan, dan kemudian melanjutkan studinya di Madrasah Thawalib, Padang Panjang.

Setelah menuntaskan perjalanan menuntut ilmunya di Termas, Ahmad Sahal menghadiri Kongres Islam ke-6 yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1926, dan pada kesempatan kali inilah ia mendapatkan sebuah gagasan tentang bagaimana Pondok Gontor akan bangkit dan berjalan kembali.

Maka, sepulangnya Ahmad Sahal dari Surabaya, beliau pun menghidupkan kembali nyala api yang telah lama padam. Risalah Pondok Gontor pun berlanjut. Senin Pagi, 20 September 1926 yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1345 H. Bertempat di halaman Rumah Pusaka, Ahmad Sahal berbalutkan jas putih lambang kewibawaan.

Memantapkan hati, meneguhkan tujuan, berdiri dan menyampaikan apa dan untuk apa mereka berkumpul di tempat tersebut.

"Santri-santriku!" Ahmad Sahal mengangkat suaranya "Dengan ini, saya dirikan kembali pesantren ini, Bismillahirrahmanirrahim wa bihi nasta'in... Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

9 tahun setelah berdirinya Pondok Gontor, KH. Ahmad Sahal mengirimkan sepucuk surat kepada 2 orang adiknya.

Adik-adikku, waktu terus berjalan dan tak dapat ditunggu berhentinya, tak terasa pondok pun terus berjalan dengan segala dinamikanya, sebagaimana kuizinkan kalian pergi, sekarang kuharap kalian kembali, ilmuku telah habis, sudah saatnya kalian mengamalkan apa yang telah kalian kumpulkan. Kembalilah. Ahmad Sahal, 1935

Setelah menerima sepucuk surat dari sang kakak, KH. Zainudin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi pulang dari perantauan untuk memenuhi panggilan. Sekembalinya dari perantauan, Mereka memulai perjuangan mereka bersama sang kakak, KH. Ahmad Sahal, dan mencetuskan sebuah sistem pendidikan yang kini dikenal dengan sebutan Kulliyatul-Mu'allimin' Al-Islamiyah.

Setelah kembalinya KH. Imam Zarkasyi dan KH. Zainuddin Fannanie ke tanah Gontor, tiga bersaudara itu bermusyawarah menentukan bagaimana pesantren akan dijalankan kedepannya

Suatu pagi, di ruang tamu rumah mereka, tiga bersaudara itu duduk bersama.

"Zarkasyi, Fanani, hari-hari bersama santri telah saya lalui hingga datang masa di mana ilmu yang telah saya pelajari sudah saya serahkan semuanya kepada santri-santri, saiki ilmuku wes entek. Apalagi yang bisa kita berikan kepada mereka?" Sahal menyampaikan.

"Mas, di Thawalib kami memfokuskan diri dalam pembelajaran bahasa, tapi di samping daripada itu kami juga dibekali Ilmu Tauhid, Qur'an, dan Syariat beserta ilmu umum seperti Ilmu Alam dan Ilmu Ukur." Zarkasyi menanggapi.

"Bukankah itu membutuhkan waktu belajar yang sangat lama Zar? Di samping itu pula metode itu sudah klasik, dan sudah banyak diterapkan di pesantren lain," tanya Sahal.

"Tidak seperti itu mas, metode ini berbeda. Ia menyatukan ilmu-ilmu agama dan umum dengan seimbang. Maka, perlu bagi kita, untuk membentuk suatu sistem pembelajaran sehingga santri-santri kita dapat belajar dengan lebih terencana," timpal Zarkasyi.

"Selain itu saya juga berpikir bahwa pendidikan kepemimpinan, pendidikan keorganisasian merupakan hal wajib dan tidak boleh. ditinggalkan, karna kita perlu mencetak kader-kader pemimpin umat, Mundzirul Qoum!" tambah Fananie.

"Persemaian Guru-guru Islam. Kuliyyatul Mu'allimin Islamiyyah, saya mengusulkan nama ini," usul Zarkasyi. "Insya Allah niat kita mulia, dan niat kita diridhoi oleh Allah..." Ahmad Sahal menyetujui usul Zarkasyi.

"Saya setuju mas, Bismillahirrahmanirrahim." Fananie juga. menerima usulan adiknya.

"Laa haula walaa quwwata illa billah... Innalladziina Qooluu Robuna Allahu Tsumma istaqomu tatanazzalu 'alaihimul malaikat alla takhoofu wa latahzanu..."

3 bersaudara itu berpelukan, rasa syukur dan bahagia pun tergambar jelas di wajah mereka. Bermula dari dialog tiga bersaudara itulah, terlahir sistem Kulliyyatul Mu'allimin Al Islamiyyah, bertepatan pada tahun 1936, dan sejak saat itu pula Gontor menerapkan sistem kemodernan dan keorganisasian di dalam mendidik santri-santrinya. Dengan tersistem, teratur, dan tertata, Gontor pun mulai terkenal dengan kemodernanya. Hingga kata 'modern' itu disematkan oleh warga sekitar di dalam namanya. Era Gontor Modern pun dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar