Disadur dari Buku Kaldeidoskop Hirarki Darussalam (Buku Pendamping Khutbatul Arsy Gontor 2022)
Kemajuan dan perkembangan pondok dari awal mula berdirinya, tidak terlepas dari serangkaian peristiwa-peristiwa penting bernilai sejarah yang telah terjadi semenjak masa kepemimpinan Trimurti, bermula dengan Berdirinya Kulliyyatul Mualllimin Al Islamiyyah pada tahun 1936, kemudian Peristiwa diwakafkannya tanah Gontor pada tahun 1958, berdirinya Perguruan Tinggi Darussalam pada tahun 1963, Proses didirikanya Masjid Jami' beserta Peringatan Setengah Abad Gontor pada tahun 1978, dan peristiwa peristiwa bersejarah lainnya.
K.H.Imam Zarkasyi duduk di sofa bersama dua orang kakaknya K.H. Ahmad Sahal dan K.H.Zainuddin Fannanie. la berbicara mengenang kejadian-kejadian yang telah dialami selama mereka memimpin pesantren ini, baik itu kejadian manis atau pahit. Semuanya terasa jelas dan terbayang dalam benak mereka.
"Mas, Alhamdulillah, Pondok kita telah berkembang sedemikian. rupa. Banyak sekali rintangan yang telah kita lalui. Mas ingat? ketika para santri-santri yang kurang ajar itu menuntut kita turun..." ujar KH.Imam Zarkasyi.
19 Maret 1967. Peristiwa terkutuk. Santri-santri terhasut kabar-kabar miring. Ada Durno, Serigala berbulu domba. menusuk yang dibesarkan dengan Al-Fatihah dari belakang. Sekelompok besar santri berkumpul untuk melengserkan pimpinan pondok, karena ketidakpuasan mereka terhadap fasilitas-fasilitas Pondok. Bergerak dengan cara-cara PKI. Tembok-tembok dicoreti. Jendela-jendela dilempari. Bel Pondok didentangkan semau hati. Papan yang bertuliskan hinaan pada pimpinan pondok diangkat tinggi-tinggi. Termakan oleh fitnah-fitnah keji.
Kembali ke ruang tamu, Zarkasyi keluar bayang-bayang itu, Zaenudin Fananie menghilang. Tersisa Ahmad Sahal dan Imam Zarkasyi
"Mas Fannanie, ya Allah mas...Ternyata sampean telah pergi... tinggal aku dan mas Sahal saja..." renung Zarkasyi.
"Mas Sahal, ingatkah dulu ketika PKI yang terkutuk itu datang ke pondok ini?"
Zarkasyi kembali dalam memori, iring-iringan sekelompok bersenjata, sebagian bercaping dan sebagian yang lainya tidak. Kain bewarna merah terikat disetiap lengan mereka.Wajah-wajah garang. Membawa bedil, clurit, hingga parang. Pondok, Kyai, Santri dilaranglarang. Kyai Zarkasyi-Kyai Sahal berebutan untuk menghadang, saling ingin mengorbankan diri.
"Ndi Sahal, Ndi Zarkasyi?!" tanya seorang tentara PKI dengan galaknya.
"Aku Sahal! mau apa kalian?!" jawab seorang santri yang rela untuk memalsukan identitasnya, demi berkorban untuk Sang Kyai. "Halah, Dusta! penipu kalian. Tunjukan di mana Sahal dan Zarkasyi, atau kuhabisi nyawa kalian!" tentara PKI menimpali hal tersebut.
"Aku Zarkasyi! Silahkan bawa kami, bunuh kami!” sahut seorang santri berani, mengaku sebagai Zarkasyi demi melindungi kyainya.
Sementara itu di sisi lain, serombongan santri juga menemani Kyai Zarkasyi dan Kyai Sahal untuk mengungsi. Para santri yang menghadang tamu yang tak diundang itupun dibawa dengan paksa oleh para bedebah itu.
KH.Imam Zarkasyi kembali sadar dari bayangan-bayangan yang begitu terlihat nyata baginya. Ia pun seraya berkata. "Banyak dari anak-anak kita sudah menjadi orang-orang yang hebat, dan bisa mengabdikan diri untuk umat Islam dan untuk bangsa ini. Meski, keterbatasan, kemelaratan selalu datang. Namun, dengan kebersamaan, pondok ini tetap teguh pada nilai-nilainya" ujarnya.
Tiba tiba Ahmad Sahal menghilang dari sofa tempat mereka duduk. Imam Zarkasyi baru menyadari bahwa sepanjang ia berbicara maka ia hanya berbicara pada dirinya sendiri. Dan kedua kakaknya telah tiada. Begetar hati KH.Imam Zarkasyi, air matanya pun tak terbendung lagi.
"Mas Sahal, Mas Fannani, Astaghfirullahaladziim Ya Allah, bayang-bayangmu mas, masih terngiang di benakku, Astaghfirullahaladziim keabadian hanya milik Allah, Albaqo'u lillah wahdahu, wa kullu syai'in haalikun illa wajhahu... Innahu huwa yubdii wa yu’iidu, wa huwa ghofurul waduud, fa'aalu-l-ima yurid, Ya Allah kuatkanlah kami serta generasi-generasi setelah kami, untuk meneruskan perjuangan." KH.Imam Zarkasyi tertegun.
Imam Zarkasyi lalu memanggil putranya Abdullah Syukri Zarkasyi dan putra kakaknya Hasan Abdullah Sahal. Teringat perjuangan Trimurti dalam memimpin Gontor, beliau memberi nasehat kepada Hasan dan Syukri sebagai penerusnya memimpin pesantren ini.
"Syukri, Hasan, sini le duduk. Syukri kowe anakku, Hasan kowe anake Pak Sahal. Pondok ini telah hidup dan berjuang dengan nilai nilai keislamannya, jika kalian melenceng dari nilai-nilai pondok ini, kalianlah yang akan terpental! kalianlah yang akan terpental dari sini!"
Tulus, Ikhlas untuk berjuang. Keringat, darah, air mata tak dapat jadi tolak ukur. Bondo, Bahu, Piker, lek perlu Sak Nyawani Pisan begitulah bunyi yang sering terdengar di Balai Pertemuan Pondok Modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar